ANALISIS KASUS KONSELING LINTAS BUDAYA
ANALISIS
KASUS KONSELING LINTAS BUDAYA
Makalah
Sebagai Syarat
Pemenuhan Mata Kuliah Konseling Lintas Budaya

OLEH:
Kelompok
III
YOLA MASDA RILFANI
(12060156)
NENGSIH SISKAWATI
(12060163)
NOVI ERISTA (12060164)
EVA SUSIETI
(12060166)
MIA TAMILA (12060168)
RAHMAH TUSA DIAH
(12060170)
Dosen
Pembimbing:
Dra.Zikra,
M.Pd., Kons
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BIMBINGAN&KONSELING
SEKOLAH TINGGI
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) PGRI
PADANG SUMATERA BARAT
PADANG
2014
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Puji syukur kehadiran Allah SWT atas
segala nikmat yang telah diberikan kepada kita semua sehingga penyusunan
makalah dengan judul”konseling lintas budaya” dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.shalawat beserta salam ditujukan kepada Nabi
Muhamad SAW yang telah membawa umatnya dari alam kebodohan ke alam berilmu
pengetahuan yang kita rasakan saat ini.
Dalam penyusunan makalah ini,penulis
tidak dapat menyelesaikan makalah ini tanpa adanya bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak.oleh karna itu penulis sangat berterima kasih kepada dosen mata
kuliah Konseling Lintas Budaya Dra.Zikra.,
M.Pd., Kons dan teman-teman yang telah mendukung pembuatan makalah ini.
Sungguh merupakan suatu kebanggaan
dari penulis apabila makalah ini dapat terpakai sesuai fungsinya,dan pembacanya
dapat mengerti dengan jelas apa yang dibahas di dalamnya.tidak lupa juga
penulis menerima kritikan dan saran yang membangun.semoga diharapkan demi
memperbaiki pembuatan makalah dikemudian hari.untuk itu diharapkan saran dari pembaca,penulis
ucapkan terima kasih.
Padang,
Desember 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR..........................................................................................................
DAFTAR
ISI..........................................................................................................................
BAB
I PENDAHULUAN......................................................................................................
A. Latar
Belakang.............................................................................................................
B. Rumusan
Masalah........................................................................................................
C. Tujuan
Penulisan..........................................................................................................
BAB
II PEMBAHASAN
A.Konseling Lintas Budaya………………………………………………………………
B.Kasus
Konseling Lintas Budaya……………………………………………………….
C.Faktor-Faktor Penyebab Kasus………………………………………………………..
D.Upaya
Penanganan Kasus……………………………………………………………..
BAB II
PENUTUP...............................................................................................................
A.Kesimpulan.....................................................................................................................
B. Saran.............................................................................................................................
KEPUSTAKAAN
MIND MAPPING
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konseling itu hakikatnya adalah ilmu terapan, dalam arti bahwa konseling
selalu berupaya menggunakan prinsip-prinsip keilmuannya untuk melakukan
intervensi dalam rangka membantu individu atau kelompok yang dilayaninya. Sebagai ilmu terapan,
konseling memakai acuan berbagai disiplin ilmu antara lain: psikologi, sosiologi,
antropologi, pendidikan dan sebagainya.
Isu tentang hubungan antar budaya atau lintas budaya merupakan persoalan
yang pelik dan kompleks. Tidak saja karena kemungkinan benturan atau gegar
budaya yang ditimbulkan tetapi terlebih-lebih lagi ketika memasuki era global
yang meniscayakan pentingnya pergaulan antar budaya lintas bangsa ini,
menimbulkan ekses yang mengancam jati
diri budaya lokal. Wacana tentang budaya lokal versus global menguatkan hal
tersebut. Budaya lokal akan hilang tertelan budaya global merupakan contoh
kecemasan yang selama ini dirasakan oleh sebagian anggota masyarakat yang
peduli terhadap identitas budayanya. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi dari
peristiwa tersebut. Antara lain misalnya ada budaya tertentu yang pendukungnya
lebih memilih menghindari konflik dengan jalan menghindari budaya tertentu
dengan pertemuan dengan pendukung budaya yang lain dan hanya berdiam di kawasan
budayanya sendiri.
B. TUJUAN
Untuk mengetahui
analisis kasus dalam
konseling lintas budaya
C. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana konsep
konseling lintas budaya ?
2. apa itu konseling dan budaya ?
3. factor-factor budaya dalam konseling ?
BAB II
PEMBAHASAN
ANALISIS KASUS KONSELING LINTAS BUDAYA
A.
Konsep
Konseling Lintas Budaya
Konseling itu hakikatnya adalah
ilmu terapan, dalam arti bahwa konseling selalu berupaya menggunakan
prinsip-prinsip keilmuannya untuk melakukan intervensi dalam rangka membantu
individu atau kelompok yang dilayaninya.
Sebagai ilmu terapan, konseling memakai acuan berbagai disiplin ilmu antara
lain: psikologi, sosiologi, antropologi, pendidikan dan sebagainya. Namun dari
berbagai disiplin ilmu itu, maka disiplin psikologilah yang selama ini
dipandang dominan mendasari konseling. Kita masih ingat tentang konsep ”psikologi
konseling” yaitu suatu studi atau telaah yang memandang konseling lebih sebagai
peristiwa psikologis yaitu hubungan konselor dan klien yang dilatari oleh
nuansa psikologis. Begitupula, apabila ditinjau dari tujuannya, konseling pada
akhirnya berurusan dengan pengubahan perilaku yang tidak lain merupakan kawasan
kajian ilmu psikologi. Apalagi kalau dikaitkan dengan konseling sebagai
treatmen maka semua pendekatan maupun teknik konseling berasal dari teori dan
aliran psikologi, misalnya : psikoanalisis, gestalt, humanistik ataupun
behavioristik.
Kesadaran tentang perlunya
memasukkan perspektif budaya dalam konseling pada gilirannya muncul
belakangan setelah para pakar konseling
membaca perkembangan bahwa di kalangan ilmuwan psikologi telah menyadari bahwa
antara psikologi dan budaya adalah dua variabel yang tidak bisa dipisahkan,
sebagaimana kemudian muncullah gagasan tentang psikologi lintas budaya.
Isu yang mengemuka tentang
hubungan antara psikologi dan budaya yang kemudian muncul dalam gerakan psikologi
lintas budaya antara lain didorong oleh pemahaman baru tentang realitas
pertemuan budaya. Globalisasi
kapitalisme yang merupakan arus utama di dunia dewasa ini pada dasarnya telah
mengakibatkan penyempitan dunia. Wilayah dunia seolah semakin mengecil. Tidak
jelas lagi batas-batas antar negara dalam arti kultural. Ditambah lagi dengan
pesatnya pemakaian teknologi cyber yang luar biasa menjadikan seolah-olah dunia
adalah satu adanya. Fenomena demikian membawa konsekuensi berupa adanya
pertemuan orang atau bangsa yang tidak hanya bersifat orang perorang tetapi
lebih dari itu adalah pertemuan antar budaya.
Keniscayaan tersebut di atas yang
oleh sebagian kalangan dinilai sebagai gerak maju peradaban yang di satu sisi harus dihadapi dan dijalani
kalau tidak ingin dikatakan sebagai komunitas yang tertinggal dan terkesan
mengisolasi diri, sementara itu di sisi yang lain dampak dari kesemuanya itu
adalah terjadinya persoalan benturan budaya. Persoalan yang tidak sederhana ini
tidak hanya menuntut adanya pemecahan atau resolusi. Lebih dari itu perlu
penyikapan yang sehat yang berangkat dari kesadaran dan pemahaman individu dan
masyarakat akan adanya keberagaman budaya yang pada gilirannya menuntut
kompetensi mereka dalam beradaptasi, menerima perbedaan, membangun hubungan
yang luas, mengatasi konflik yang berakar pada perbedaan budaya.
B. Konseling dan
Budaya
Isu tentang hubungan antar budaya
atau lintas budaya merupakan persoalan yang pelik dan kompleks. Tidak saja
karena kemungkinan benturan atau gegar budaya yang ditimbulkan tetapi
terlebih-lebih lagi ketika memasuki era global yang meniscayakan pentingnya
pergaulan antar budaya lintas bangsa ini, menimbulkan ekses yang mengancam jati diri budaya lokal. Wacana
tentang budaya lokal versus global menguatkan hal tersebut. Budaya lokal akan
hilang tertelan budaya global merupakan contoh kecemasan yang selama ini
dirasakan oleh sebagian anggota masyarakat yang peduli terhadap identitas
budayanya. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi dari peristiwa tersebut. Antara
lain misalnya ada budaya tertentu yang pendukungnya lebih memilih menghindari
konflik dengan jalan menghindari budaya tertentu dengan pertemuan dengan
pendukung budaya yang lain dan hanya berdiam di kawasan budayanya sendiri.
Dengan demikian terkesan lebih bersikap tinggal atau berdiam dalam kawasan
budayanya sendiri. Sepintas terkesan bahwa dengan hanya mengembangkan interaksi
pergaulan di lingkungan sendiri akan menjadikan warga masyarakat pendukung
budaya tersebut lebih aman dan terhindar dari konflik apalagi gegar budaya
akibat bertemu dengan budaya lain. Contoh kasus misalnya negara tertentu
yang sama sekali tidak mengizinkan
beroperasinya sistem internet karena takut akan dampak negatifnya bagi
warganya.
Namun apabila kita cermati,
ternyata penyikapan yang demikian itu ternyata tidak menguntungkan bagi
perkembangan yang sehat bagi suatu budaya. Masyarakat pendukung budaya tersebut
menjadi ekslusif dan terisolasi. Mereka kehilangan peluang memperoleh akses
informasi dan wacana yang berkembang di dunia internasional yang sesungguhnya menjadi kunci untuk tetap
eksis dalam pergaulan antar bangsa. Mereka ini akhirnya hanya akan menjadi
”katak dalam tempurung” dan kehilangan kesempatan untuk belajar dan
mengaktualisasikan diri secara lebih baik.
Padahal budaya yang maju adalah
budaya yang mau dan siap membuka diri terhadap perubahan termasuk perubahan
akibat pertemuan dengan budaya lain. Membuka diri berarti pula memahami dan
menerima budaya lain dan siap menerima perbedaan ( Johnson, 1993).
Psikologi adalah ilmu tentang
perilaku manusia. Hal ini mengimplikasikan bahwa psikologi mau tidak mau turut
melakukan pengkajian atau telaah ilmiahnya terhadap masalah manusia dan
perilakunya dalam konteks lintas budaya (Dayakisni dan Yuniardi, 2004: 3). Hal
tersebut pada gilirannya juga memberi imbas kepada konseling sebagai ilmu
terapan yang selama ini banyak mengandalkan rujukan kajian teori psikologi.
Dengan kata lain, konseling juga harus membuka diri terhadap kemungkinan kajian
ditinjau dari perspektif lintas budaya.
Sampai saat sekarang ini,
terdapat dua kubu penyikapan terhadap konseling terkait dengan munculnya konsep
konseling lintas budaya. Kubu pertama berasumsi bahwa perspektif lintas budaya
dalam konseling itu tidak penting. Ketika seorang klien memasuki suatu hubungan
yang bersifat membantu (helping
relationships), maka yang menjadi fokus adalah individu bukan budayanya.
Pada saat konseling, seorang konselor tidak berurusan dengan budaya klien,
begitu pula tidak bersangkut paut dengan budaya konselor, melainkan dengan
individu klien an sich. Pada
hakikatnya klien sebagai manusia dalam
perilakunya merujuk kepada prinsip-prinsip yang umum dan universal sebagaimana yang dapat dipelajari
dari berbagai teori psikologi yang selama ini ada. Kebenaran teori-teori psikologi
yang menjadi kajian ilmiah dan acuan konseling selama ini diyakini mampu
melintasi batas-batas kultural. Sebagai contoh misalnya, ketika berbicara
tentang hierarki kebutuhan ala Maslov kita tidak membedakan apakah itu berlaku
untuk masyarakat budaya Barat atau masyarakat budaya Indonesia, karena selama
manusianya sama dalam arti aspek psikobiologisnya maka teori jenjang kebutuhan
Maslow berlaku untuk budaya di manapun.
Kubu yang kedua sebaliknya
berpendapat bahwa konseling itu tidak berlangsung dalam ruang vakum (kosong).
Ketika seorang klien memasuki ruang konseling, perilakunya sebagai fokus
layanan bantuan oleh konselor memuat
aspek-aspek tertentu seperti kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai hidupnya,
kepercayaan, pola berpikir klien yang
tidak lain adalah faktor-faktor budaya
klien. Jadi sangatlah ceroboh jika kita mengabaikan faktor-faktor budaya pada
perilaku klien dalam proses konseling. Apalagi seorang konselor harus
berprinsip bahwa klien itu unik baik itu secara psikologis maupun ditinjau dari
latar budayanya. Kritik kubu kedua ini terhadap pandangan kubu pertama adalah
jika konselor mengabaikan faktor-faktor budaya klien maka akan muncul bahaya
bagi konseling karena konselor tidak peka budaya, kurang empatik, bahkan bisa
terjebak pada pemaksaan nilai-nilai budayanya kepada klien yang dibantunya.
Dalam kajian antropologi dikenal
konsep yang disebut : ethic dan emic. Kedua konsep ini pertamakali dikembangkan oleh Pike pada tahun 1950an. Ethic dan emic secara etimologis diangkat dari kajian antropologi bahasa. Ethic berasal dari phonetics yaitu studi
yang mempelajari bunyi-bunyian yang digunakan dan ditemukan pada semua bahasa
secara universal pada berbagai budaya.
Sebaliknya emic berasal dari kata phonemic yaitu studi yang mempelajari
bunyi-bunyian yang unik pada bahasa tertentu. Pike selanjutnya mengadopsi dua
istilah di atas sebagai titik pandang dalam mempelajari perilaku dalam latar
budaya. Para ilmuwan psikologi yang
tertarik pada kajian lintas budaya kemudian memakai dua konsep itu untuk menjelaskan
dua hal yang berbeda, yaitu, Ethic
adalah aspek kehidupan yang muncul konsisten pada semua budaya sedangkan Emic adalah aspek kehidupan yang muncul
dan benar pada budaya tertentu saja. Upacara pernikahan adalah contoh ethic,
tetapi carok bagi budaya Madura atau harakiri bagi budaya Jepang adalah contoh
emic.
Dengan demikian, asumsi kedua
kubu tentang konseling di atas sesungguhnya bertolak dari konsep antropologi
tentang ethic dan emic. Kubu yang
mengabaikan faktor budaya klien dalam konseling bertolak dari konsep
ethic yang menyatakan bahwa pada diri klien berlaku prinsip-prinsip umum dan
universal yang secara konsisten berlaku pada semua manusia. Sebaliknya kubu
kedua yang mengakui dan mempertimbangkan faktor-faktor budaya klien dalam
konseling berangkat dari konsep emic yang mengakui keunikan klien dengan segala
latar budayanya.
C. Faktor-faktor
Budaya dalam Konseling
Pada mulanya, baik psikoterapi maupun konseling umumnya hanya
mempertimbangkan sebagai hubungan dua pihak. Yakni klien dan konselor atau
terapis. Ivey (1986) menegaskan bahwa adanya empathetic ke arah klien cukup untuk hubungan konseling yang
efektif. Anggapan dan keyakinan ini telah bertahan bertahun-tahun, sampai
kemudian ada pendapat baru yang belakangan muncul bahwa setidaknya ada empat
faktor masuk dalam arena konseling atau psikoterapi : (1) Klien, (2) konselor
atau terapis (3) latar historis dan budaya klien dan (4) latar historis dan
budaya konselor/terapis.
Dengan demikian, proses konseling
bukan sesuatu yang sederhana terlebih mengesan sebagai vakum sosiokultural.
Bahkan tidak jarang terjadi konseling mengalami kegagalan karena konselor kurang
cakap menangani faktor-faktor budaya.
Ada pengalaman yang menarik yang
penulis temui ketika mendampingi dan mensupervisi calon Konselor dari
Pendidikan Profesi Konselor ketika praktik konseling lintas budaya di daerah
Pasaman Sumatera Barat beberapa waktu lalu. Pada waktu itu calon konselor yang
praktik ini hendak melakukan sesi bimbingan kelompok terhadap sejumlah murid
kelas tinggi Sekolah Dasar. Untuk memecah kebekuan, Konselor bermaksud mengajak
anggota kelompok bernyanyi lagu yang populer ” Balonku ada Lima”. Tetapi apa
yang terjadi? Alih-alih menyanyikan lagu tersebut, semua anggota kelompok
terdiam dan wajah merekapun merah padam. Apa gerangan yang terjadi? Ternyata
ini soal bahasa. Istilah ”balon” ternyata bagi mereka bermakna lain. Konotasi
kata tersebut dalam latar budaya mereka berarti payudara perempuan.
Demikianlah, bahwa perkara bahasa yang
bersifat verbal dan konotasi dalam
konteks latar budaya menjadi faktor signifikan dalam konseling.
Dalam kasus yang lain, dapat
diketengahkan bahwa faktor non
verbal yang sering kita temukan dalam
teori konseling, semisal ”sentuhan” sangat kontekstual dengan budaya. Di
sekolah menengah kita, sentuhan pada bahu klien untuk maksud penguatan oleh seorang konselor akan bisa dimaknai lain
apabila yang melakukan adalah seorang konselor laki-laki ( yang muda lagi)
kepada murid perempuan, misalnya. Hal itu berbeda jika berlaku sebaliknya yakni
Konselor wanita terhadap murid laki-laki.
Situasi di mana antara konselor
dan klien berbeda budaya, lazim dinamakan konseling lintas budaya atau multi
kultural. Sering orang mengartikan bahwa konseling lintas budaya itu sebagai
suatu pendekatan seperti pendekatan-pendekatan psikoanalisis, behavioristik,
gestalt dan sebagainya. Ini lebih diperkuat lagi dengan pelabelan konseling
lintas budaya sebagai angkatan ke IV dalam gerakan konseling kita. Namun
begitu, jika merujuk definisi pada umumnya tentang konseling lintas budaya,
maka jelaslah megimplikasikan bahwa semua konseling itu hakikatnya lintas
budaya, tanpa harus menegaskan secara eksplisit latar konselor dan klien
berdasar penggolongan etnis, agama, ras, dan sebagainya.
Sebagai contoh misalnya, konselor
dan klien boleh jadi sama-sama dari etnis Jawa dan Muslim. Tetapi pada
kenyataannya kalau dianalisis ternyata
ada faktor sub kultur yang menjadikan mereka berdua tetap dalam status lintas
budaya. Misalnya setelah dicermati ternyata konselor berasal dari lapis
masyarakat kelas menengah sementara klien berasal dari kelas masyarakat bawah.
Konselor berasal dari generasi tahun delapanpuluhan sementara klien berasal
dari tahun duaribuan. Kedua variabel subkultur tersebut sudah tentu akan ikut
berpengaruh dalam proses komunikasi konseling.
Relevan dengan hal tersebut
Draguns (1989) mencoba menyodorkan beberapa poin kunci yang patut
dipertimbangkan oleh semua konselor baik itu konselor yang berlabel konselor
multikultural atau konselor yang praktik di sekolah dan masyarakat pada umumnya
adalah:
Konseling bukanlah produk budaya
Indonesia, ia dibawa dari Amerika pada tahun
enampuluhan oleh para pakar pendidikan kita seusai belajar di sana. Karena
bukan produk budaya kita, maka sebagaimana tradisi ilmu sosial, maka konseling
di Indonesia sebagai disiplin ilmu tidak lepas dari sifat ahistoris.
Beberapa tinjauan latar
sosial-budaya dapat menjelaskan bahwa ada kesenjangan yang menjadikan konseling
merupakan ”barang asing” dalam masyarakat kita. Konseling menurut aslinya
muncul dari latar masyarakat Amerika
yang individualis, egaliter dan otonom. Sementara penerapannya di sini
harus berhadapan dengan latar masyarakat yang berlawanan karakteristiknya yakni
: komunal, deterministik. Sebagai contoh misalnya implementasi konseling di
sekolah : bagaimana konseling dapat terselenggara efektif, jika menurut versi aslinya berpijak pada
kesetaraan hubungan antara konselor dan konseli, di sekolah kita termodifikasi
jadi hubungan guru dan murid? Bagaimana konseli mampu mengembil keputusan
secara otonom sementara budaya kita malahan mengutamakan pelibatan orang tua
dalam perencanaan hidup?
Bertolak dari uraian di atas,
maka isu indigenisasi konseling adalah persoalan yang relevan dan perlu dikaji
lebih dalam oleh para praktisi konseling kita. Harus disadari bahwa tradisi
keilmuan di negara kita tidak lebih dari bayang-bayang dari keilmuan di dunia barat. Semua ilmu konseling yang diterapkan di Indonesia tidak lebih dari kloning teori Rogers, Ellis, Krumboltz,
Charkuff dan sebagainya. Nyaris tidak ada satu pun pakar konseling yang
memasuki rimba keilmuan konseling dengan melakukan rekonstruksi yang lebih
berbasis budaya pribumi. Ada satu dua yang mulai merintis misalnya Munandir
(1990) dengan mencoba mendedah corak konseling ala Indonesia sebagai wilayah
interseksi antara disiplin psikologi, agama dan budaya. Prayitno ( 2002) mencoba
menelurkan teori konseling Pancawaskita yang sekarang ini dikembangkan pada
program pendidikan profesi konselor. Dengan demikian, tantangan yang ada di
depan kita adalah bagaimana mengupayakan semacam indigenisasi konseling.
Isu indigenisasi konseling
setidaknya berdiri di atas beberapa alasan. Yang pertama, kita menyadari bahwa
hampir totalitas tubuh ilmu konseling yang meliputi asumsi-asumsi nilai,
preferensi ideologis, apriori kognitif dan orientasi filsafat berasal dari
Barat. Padahal tidak semua kecenderungan yang disebut itu memiliki kecocokan
dengan latar sosial dan budaya kita. Akan jauh lebih strategis bahwa dalam hal
pengembangan ilmu konseling tidak begitu saja menelan mentah dari transfer
pemikiran luar-Indonesia. Setidak-tidaknya harus ada adaptasi dan modifikasi
atau bilamana mungkin membangun konstruk teori konseling ala Indonesia yang
”membumi” yang didasarkan atas temuan lokal yang diharapkan dapat menjawab
langsung permasalahan di masyarakat setempat. Yang kedua, akibat dominasi pemikiran
”asing” ( teori konseling ala Barat )
tersebut , sering terjadi para konselor kita baik dalam teori maupun praktik
terjebak pada kegiatan mengulang-ulang dan mengambil begitu saja teori asing
tersebut tanpa kritik terhadap hal-hal substansi seperti nilai-nilai filosofis.
Ada ilustrasi menarik yang
penulis dapatkan dari ceritera Profesor Prayitno tentang Carl Rogers dengan
teori berpusat pada pribadi ketika menangani konseli seorang wanita single
parent yang gelisah dengan perilaku kumpul
kebo dengan pacarnya. Rogers tidak pernah memusingkan dengan apakah
perilaku si wanita itu normatif atau tidak . Sesuai dengan nilai-nilai
individualitas barat, baginya yang penting adalah pada peneguhan konsep diri
tanpa harus mengurasi rasa kasih sayang kepada satu-satunya anak puterinya
(yang konseli khawatirkan akan menilai ibunya sebagai wanita ”gampangan”) toh
setelah dewasa si anak akan mengerti mengapa ibunya berperilaku seperti
itu. Sekarang, marilah kita bayangkan
bagaimana apabila kasus yang sama diterapkan di Indonesia? Apa yang akan
terjadi?
Pada kenyataannya, banyak kasus
praktik konseling terutama di sekolah yang salah kaprah akibat menelan begitu
saja teori dari barat. Konon pernah terjadi seorang guru Bimbingan danKonseling
di suatu sekolah mencoba menerapkan teknik aversif pada siswa yang ketahuan
merokok. Diberinya siswa lebih dari sebungkus rokok untuk dihisap si siswa
dengan harapan agar ia jera. Secara teori mungkin benar, tetapi apakah treatmen
yang demikian sudah tepat di terapkan
kepada siswa yang sedang dalam masa mencari jati dirinya itu? Alih-alih
bukannya jera atau kesembuhan yang ia dapatkan tetapi justru menambah masalah
baru dengan trauma-trauma tertentu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hambatan praktik pelayanan konseling di Indonesia adalah salah satu
kenyataan empiris yang menguatkan dugaan bahwa penerapan konseling tanpa
mempertimbang-kan aspek
budaya yang berlaku di masyarakat akan berujung pada kegagalan. Hal ini
disebabkan faktor ahistoris yang melekat pada karakter ilmu pengetahuan yang
seringkali begitu saja diimplementasikan, tanpa melihat bahwa filsafat,
nilai-nilai dari mana ilmu pengetahuan itu berasal kemungkinan berbeda atau
bahkan bertentangan sama sekali.
Pemribumian atau indigenisasi
konseling merupakan jawaban atas persoalan tersebut. Namun upaya itu tidak
serta merta mudah diwujudkan, tetapi setidak-tidaknya perlu mulai memikirkan
modifikasi model konseling ala Indonesia, sebagaimana telah dirintis oleh Prof.
Prayitno melalui model Konseling Pancawaskita.
B. SARAN
Makalah ini jauh dari kesempurnaan,kritikan dan
masukan dari pembaca dapat menambah kesempurnaan dari makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi
penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Dedi Supriadi, 2001. Konseling Lintas Budaya : Isu-isu
dan Relevansinya di Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar UPI) .
Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia
Munandir.1990. Bimbingan dan Konseling Indonesia : Corak
yang Bagaimana?(Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang) Malang :
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi.
2004.Psikologi
Lintas Budaya. Malang : UMM Press
Pedersen, Paul dan kawan-kawan.1980.Counseling
Across Culture. USA : The University of
Hawai
Prayitno. 2002. Konseling Pancawaskita. Padang
: Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan
CASINO-WIN.COM - GAMING - Jtm Hub
BalasHapusCASINO-WIN.COM. JAMEMARKA, 경산 출장안마 VICENTINE, NV 89103. JDMOBARET, NEW YORK, United 문경 출장샵 States. CASINO-WIN.COM, GAMING. 김천 출장안마 JAMEMARKA, VICENTINE, NV 89103. CASINO-WIN.COM, GAMING. 동두천 출장안마 JAMEMARKA, VICENTINE, 대구광역 출장샵 NV.