PENDEKATAN ETIK DAN EMIK DALAM KONSELING SERTA ETNOSENTRIS DAN STEREOTYPE
PENDEKATAN
ETIK DAN EMIK DALAM KONSELING SERTA ETNOSENTRIS DAN STEREOTYPE
Makalah
Sebagai
Syarat Pemenuhan Mata Kuliah Konseling Lintas Budaya
Oleh:
KELOMPOK
III
YOLLA MASDA RILFANI (12060156)
NENGSIH SISKAWATI (12060163)
NOVI ERISTA (12060164)
EVASUSIETI (12060166)
MIA TAMILA (12060168)
RAHMAH TUSA’DIAH (12060170)
Dosen
Pembimbing:
Dra.Zikra,
M.Pd., Kons
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BIMBINGAN&KONSELING
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP)
PGRI PADANG SUMATERA BARAT
PADANG
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Puji syukur kehadiran Allah SWT atas
segala nikmat yang telah diberikan kepada kita semua sehingga penyusunan
makalah dengan judul”konseling lintas budaya” dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.shalawat beserta salam ditujukan kepada Nabi
Muhamad SAW yang telah membawa umatnya dari alam kebodohan ke alam berilmu
pengetahuan yang kita rasakan saat ini.
Dalam penyusunan makalah ini,penulis
tidak dapat menyelesaikan makalah ini tanpa adanya bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak.oleh karna itu penulis sangat berterima kasih kepada dosen mata
kuliah Konseling Lintas Budaya Dra.Zikra., M.Pd., Kons dan teman-teman yang
telah mendukung pembuatan makalah ini.
Sungguh merupakan suatu kebanggaan
dari penulis apabila makalah ini dapat terpakai sesuai fungsinya,dan pembacanya
dapat mengerti dengan jelas apa yang dibahas di dalamnya.tidak lupa juga
penulis menerima kritikan dan saran yang membangun.semoga diharapkan demi
memperbaiki pembuatan makalah dikemudian hari.untuk itu diharapkan saran dari pembaca,penulis
ucapkan terima kasih.
Padang, Oktober 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR..........................................................................................................
DAFTAR
ISI..........................................................................................................................
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.............................................................................................................
B. Rumusan
Masalah........................................................................................................
C. Tujuan
Penulisan..........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pendekatan Etik dan
Emik dalam Konseling ..............................................................
B.
Etnosentris dan
Streotype ...........................................................................................
BAB II PENUTUP
A.Kesimpulan.....................................................................................................................
B. Saran.............................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Etik mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau
tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran
atau prinsip yang universal. Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada
temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan demikian,
sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specific).
Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif.
Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan
menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan
oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri.
Stereotip adalah kombinasi dari
ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok
lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). secara lebih
tegas Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang
kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat
kepribadian.
Etnosentris adalah
kecenderungan untuk melihat dunia melalui filter budaya sendiri. Istilah ini
sering dipandang negatif, yang didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk
melihat orang lain dengan cara di luar latar belakang budaya anda sendiri.
B. Rumusan
Masalah
1.Pendekatan
etik dan emik dalam konseling.
2.Etnosentris
dan Stereotype.
C. Tujuan
Penulisan
Untuk
memenuhi tugas dari mata kuliah konseling lintas budaya serta
mengetahui dan memahami apa itu pendekatan etik dan emik dalam konseling.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan
Etik dan Emik Dalam Konseling
Emik dan Etik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi
yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of view)
misalnya,mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut
pandang masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, etik merupakan penggunaan sudut
pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk
menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.
Secara sangat sederhana emik mengacu
pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada
pandangan si pengamat. pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu
yang lebih obyektif. karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan
dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri berupa definisi
yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. bahwa
pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis
proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik.
Etik
mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai
budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang
universal. Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak
berbeda untuk budaya yang berbeda dengan demikian sebuah emik mengacu pada
kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specific).
Karena
implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan etik
merupakan konsep-kosep yang kuat (powerful). Kalau kita tahu sesuatu
tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran dan hal itu adalah
suatu etik (alias universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu
adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya apa pun. Kalau yang kita
ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu
ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita
anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari
budaya lain.
Contoh
kasus:pada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. bila perilaku pengemis
disebut sebagai sebuah fakta sosial atau sebuah keniscayaan, maka berlaku
sebutan: pengemis adalah sampah masyarakat, manusia tertindas, manusia yang
perlu dikasihani, manusia kalah, manusia korban kemiskinan struktural, dsb.
anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan sebuah sudut pandang
etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku
seperti itu, bukan pandangan emik bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri.
Dalam
pandangan emik yang bersifat interpretif atau fenomenologis, pengemis adalah
subjek. mereka adalah aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan
sendiri yang unik. pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi
pandangan obyektif yang seringkali justru memojokkan mereka, melihat mereka
sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan
sebagai entitas masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang
mereka rasakan dan alami sendiri.
B.
Etnosentris
dan Stereotype
Etnosentrisme
didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau
budayanya sendiri. etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang
lain yang tidak sekelompok. etnosentrisme cenderung memandang rendah
orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing.etnosentrisme
memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri.
(Mulyana:2000;70).
Jelas sekali bahwa
dengan kita bersikap etnosentrisme kita tidak dapat memandang perbedaan budaya
itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita hargai. dengan
memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing
sebagai budaya yang salah, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah
angan-angan karena kita akan cenderung lebih membatasi komunikasi yang kita
lakukan dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau
bertentangan dengan budaya kita. masing-masing budaya akan saling merendahkan
yang lain dan membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat
potensial muncul konflik di antaranya. Contoh konflik yang sudah terjadi
misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman
itu masing-masing tidak mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu
sama lain. adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementara
yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah
berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota
budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya
barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun. Budaya
asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik
sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. orang
takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar—budaya
barat sebagai polusi pencemar.
Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri
yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau
oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). secara lebih tegas Matsumoto
(1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki
mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian.
beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah stereotip
yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. stereotip etnis Batak
adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. stereotip orang Minang adalah
pintar berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan pekerja keras.
Stereotip berfungsi menggambarkan
realitas antar kelompok, mendefinisikan kelompok dalam kontras dengan yang
lain, membentuk imej kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan,
merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang
pada masa lalu, sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu (Bourhis,
Turner, & Gagnon, 1997). Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang
sekiranya sesuai terhadap kelompok lain. misalnya etnis jawa memiliki stereotip
lemah lembut dan kurang suka berterus terang, maka kita akan bertindak
berdasarkan stereotip itu dengan bersikap selembut-lembutnya dan berusaha untuk
tidak mempercayai begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis jawa kepada
kita. Sebagai sebuah generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan
kadang-kadang tidak. Misalnya stereotip etnis jawa yang tidak suka berterus
terang memiliki kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis jawa memang kurang
suka berterus terang. namun tentu saja terdapat pengecualian-pengecualian
karena banyak juga etnis jawa yang suka berterus terang.
Stereotip dapat diwariskan dari
generasi ke generasi melalui bahasa verbal tanpa pernah adanya kontak dengan
tujuan/objek stereotip (Brisslin,1993). misalnya saja stereotip terhadap etnis
Cina mungkin telah dimiliki oleh seorang etnis Minang, meskipun ia tidak pernah
bertemu sekalipun dengan etnis Cina. stereotip juga dapat diperkuat oleh TV,
film, majalah, koran, dan segala macam jenis media massa. Menurut Johnson &
Johnson (2000), stereotip dilestarikan dan di kukuhkan dalam empat cara:
- Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan
kita ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.
- Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran
secara berlebihan pada anggota kelompok lain. individu cenderung untuk
begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagi
tipikal sama.
- Stereotip dapat menimbulkan kambing hitam.
- Stereotip kadangkala memang memiliki derajat
kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali.
mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan. lagi pula stereotip biasanya
muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh etnik lain.
apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip
tehadap etnik itu biasanya akan menghilang.
Matsumoto (1996) menunjukkan bahwa kita dapat belajar
untuk mengurangi stereotip yang kita miliki dengan mengakui tiga poin kunci
mengenai stereotip, yaitu:
- Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita
hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip
juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari
sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita mungkin salah didasarkan
atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta.
- Stereotip seringkali diasosiasikan dengan
karakteristik yang bisa diidentifikasi. ciri-ciri yang kita identifikasi
seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. artinya bisa saja kita dengan
begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.
- Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok
kepada orang-orang di dalam kelompok tersebut. generalisasi mengenai
sebuah kelompok mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak
individu dalam kelompok tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. Bila
perilaku pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial atau sebuah keniscayaan.
Maka berlaku sebutan: pengemis adalah sampah masyarakat, manusia tertindas,
manusia yang perlu dikasihani, manusia kalah, manusia korban kemiskinan
struktural, dsb. Anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan sebuah
sudut pandang etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan fakta yang
semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik, bagaimana pengemis
melihat dirinya sendiri.
Dalam
pandangan emik yang bersifat interpretif atau fenomenologis, pengemis adalah
subjek. Mereka adalah aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan
sendiri yang unik. Pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi
pandangan obyektif yang seringkali justru memojokkan mereka, melihat mereka
sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan
sebagai entitas masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang
mereka rasakan dan alami sendiri.
Etnosentris adalah kecenderungan
untuk melihat dunia melalui filter budaya sendiri. Istilah ini sering
dipandang negatif, yang didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk
melihat orang lain dengan cara di luar latar belakang budaya anda sendiri.
B. Saran
Makalah ini jauh dari
kesempurnaan.kritik dan masukan dari pembaca dapat menambah kesempurnaan dari
makalah ini.mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama
bagi penulis.
KEPUSTAKAAN
Syaiful
Sagala. 2008. Konsep dan Makna
pembelajaran. Bandung : Alfabeta
http://hendrapgmi.blogspot.com/2012/11/kriteria-pemilihan-media-pembelajaran.html (diakses
Sabtu, 09 Maret 2013 11.15 WIB)
Matsumoto,D.2008.Pengantar Psikologi Lintas Budaya.Yogyakarta:Pustaka
Belajar
Komentar
Posting Komentar