BUDAYA DENGAN PERILAKU KOGNISI
BUDAYA
DENGAN PERILAKU
KOGNISI
Makalah
Sebagai
Syarat Pemenuhan Mata Kuliah Konseling Lintas Budaya

Oleh:
Kelompok 3
YOLA MASDA RILFANI (12060156)
NENGSIH SISKAWATI (12060163)
NOVI ERISTA (12060164)
EVA SUSIETI (12060166)
MIA TAMILA (12060168)
RAHMAH TUSA DIAH (12060170)
Dosen Pembimbing:
Dra.Zikra, M.Pd., Kons
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BIMBINGAN&KONSELING
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP)
PGRI PADANG SUMATERA BARAT
PADANG
2014
KATA
PENGANTAR
Syukur
alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Budaya
Dengan Prilaku Kognisi”. Makalah ini penulis
ajukan guna memenuhi tugas mata kuliah konseling lintas budaya.
Penulis
mengucapkan terimakasih terutama kepada “Dosen Pembimbing Mata Kuliah KONSELING
LINTAS BUDAYA yaitu Ibu Dra. ZIKRA, M.Pd, Kons” dan kepada semua pihak
yang telah membantu penulis sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan. Tak ada gading yang tak retak, begitu juga
dalam pembuatan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaaan, baik materi maupun
teknik penulisannya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun, sehingga makalah ini bisa mencapai kesempurnaan sebagaimana
mestinya.
Semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi yang membaca khususnya terhadap penulis. Atas
kritik dan saran yang diberikan penulis ucapkan terimakasih.
Padang, Oktober 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................
i
DAFTAR ISI.....................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah .............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 2
1.3 Tujuan
Penulisan........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Psikologi
Lintas Budaya.............................................
3
B.
Kognisi.........................................................................................
4
C.
Budaya dan Memori.....................................................................
4
D.
Budaya dan Problem
Solving.......................................................
12
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan...................................................................................
20
B.
Saran.............................................................................................
21
MIND MAPPING.............................................................................................
22
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
23
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk
yang dapat berpikir, manusia memiliki pola-pola tertentu dalam bertingkah laku.
Tingkah laku ini menjadi sebuah jembatan bagi manusia untuk memasuki kondisi
yang lebih maju. Pada hakikatnya, budaya tidak hanya membatasi masyarakat,
tetapi juga eksistensi biologisnya, tidak hanya bagian dari kemanusiaan, tetapi
struktur instingtifnya sendiri. Namun demikian, batasan tersebut merupakan
prasyarat dari sebuah kemajuan.
Menurut Tri
Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada
setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Selain
kedua hal di atas, pemberian kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari
masing-masing objek tersebut. Proses-proses mental dari kognisi mencakup
persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu
kategorisasi (pengelompokan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem
solving).
Memori ialah
proses pengolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean,
penyimpanan, pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut. Dalam
hubungannya dalam penyimpanan dan pemanggilan kembali informasi-informasi
tersebut, memori dibedakan menjadi memori jangka pendek (short term memory)
yang jangka waktu menyimpan informasi tidak lebih dari 15-25 detik dan memori
jangka panjang (long term memory) atau memori yang menyimpan informasi relatif
permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggilnya kembali (Dayakisni,
2008)
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini diantaranya yaitu :
1.
Pengertian lintas budaya?
2.
Apa itu kognisi?
3.
Apa itu budaya dan memori?
4.
Menjelaskan budaya dan problem
solving?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
agar mahasiswa
mengetahui dan memahami budaya dengan prilaku kognisi
BAB
II
PEMBAHASAN
BUDAYA
DENGAN PRILAKU KOGNISI
A. Pengertian Psikologi
Lintas Budaya
Psikologi lintas
budaya adalah kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi individu
secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai
hubungan-hubungan di antara budaya psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan
ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam
budaya-budaya tersebut. Sedangkan pendapat beberapa ahli, yaitu: Segall, Dasen
dan Poortinga, psikologi lintas-budaya adalah kajian mengenai perilaku manusia
dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya.
Definisi ini
mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman perilaku manusia di dunia
dan kaitan antara perilaku terjadi. Definisi ini relatif sederhana dan memunculkan
banyak persoalan. Sejumlah definisi lain mengungkapkan beberapa segi baru dan
menekankan beberapa kompleksitas: Riset lintas-budaya dalam psikologi adalah
perbandingan sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah
kondisi-kondisi perbedaan budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-anteseden
dan proses-proses yang memerantarai kemunculan perbedaan perilaku.
Menurut
Matsumoto, (2004) : Dalam arti luas, psikologi lintas budaya terkait dengan
pemahaman atas apakah kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat
universal (berlaku bagi semua orang di semua budaya) ataukah khas budaya
(culture spscific, berlaku bagi orang-orang tertentu di budaya-budaya tertentu)
Sedangkan Ruang
Lingkup Psikologi Lintas Budaya dalam memahami tentang cabang ilmu psikologi
lintas budaya yang dipelejari
1.
Pewarisan dan Perkembangan Budaya
2. Budaya dan Diri (Self)
3. Persepsi
2. Budaya dan Diri (Self)
3. Persepsi
4.
Kognisi & Perkembangannya
5. Psikologi Perkembangan
6. Bahasa
7. Emosi
8. Psikologi Abnormal
9. Psikologi Sosial
5. Psikologi Perkembangan
6. Bahasa
7. Emosi
8. Psikologi Abnormal
9. Psikologi Sosial
B. Kognisi
Kognisi adalah
istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan
dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni (2008)
salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau
obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas,
pemberian kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek
tersebut. Proses-proses mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran
rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi
(pengelompokkan), memori (ingatan) dan pemecahan masalah (problem solving).
Budaya, Kategorisasi
dan Pembentukan Konsep
Salah satu
proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kateorisasi. Kategorisasi
dilakukan umumnya atas dasar persamaan dan perbedaan karakter dari obyek-obyek
dimaksud. Selain itu fungsi dari obyek juga merupakan deterministic utama
inidari proses kategorisasi. Missal, ketika kita melakukan kategorisasi
mengenai buku. Ada bermacam-macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku
pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak-anak. Semuanya kita masukkan dalam
kategorisasi karena kesamaan bentuknya dari fungsinya yaitu tempat menuliskan
sesuatu. Kertas tidak kita kategorisasikan ke dalam buku karena meskipun
fungsinya bias dianggap sama namun dalam hal bentuk sangat berbeda. Buku
tersusun atas banyak lembar kertas, sedang kertas tersusun atas satu lembar
atau bias dihitung sejumlah jari tangan.
Seperti contoh
kertas tadi, beberapa konsep psikologi juga berlangsung universal dalam
kategorisasi. Contohnya, adalah kesepakatan dalam semua budaya akan masalah
kategorisasi warna-warna apa yang digolongkan warna-warna apa yang digolongkan
warna primer dan warna sekunder. Semua budaya tanpa melihat apakah budaya
tersebut memiliki kosakata untuk berpuluh variasi warna ataupun hanya dua
kosakata seperti suku di pedalaman. Papua yang hanya memiliki kosakata
warna gelap dan warna terang-ternyata tetap mampu melakukan penggolongan
warna-warna dan diminta untuk menunjukkan kembali ternyata bias. Namun
kesulitan biasanya terjadi ketika warna yang ditunjukkan adalah warna sekunder
(campuran). Seorang Eskimo mampu membedakan gradasi warna es (warna putih bercampur
warna lain) dengan namanya masing – masing. Bagi individu yang tidak hidup di
lingkungan es tentunya akan kesulitan ketika yang ditunjukkan adalah warna
sekunder dari putih.
Orang dengan
latar budaya manapun juga cenderung melakukan kategorisasi bentuk benda (shapes) dalam kerangka bentuk-bentuk
dasarnya, semacam, segitiga sama sisi, lingkaran, dan segi empat. Hal ini
berbeda ketika kategorisasi dilakukan terhadap bentuk-bentuk geometris yang
tidak beraturan. Penemuan dalam lintas budaya ini membuktikan bagaimana factor
psikologis mempengaruhi pada bagaimana manusia melakukan kategorisasi stimulus
dasar tertentu, dalam hal ini yang sudah terungkap adalah dalam bentuk, warna,
dan ekspresi muka (Berry, 1999).
Namun demikian,
beberapa penelitian juga telah membuktikan bagaimana budaya member pengaruh
pada perbedaan proses kategorisasi. Contoh sederhananya, sekalipun apa yang
dibuktikan pada perbedaan proses kategorisasi. Contoh sederhananya, sekalipun
apa yang disebut kursi tampaknya semua budaya memiliki kesepakatan, namun
terbuat dari apa yang biasa disebut kursi itu dan bagaimanabentuk kursi itu
tampaknya perbedaan budaya member pengaruh di sini. Pada beberapa budaya, kursi
umumnya terbuat dari bamboo, budaya yang lain mungkin kursi tersebut dari besi.
Namun demikian, kursi panjang dari bamboo yang di Jawa disebut lincak mungkin
saja tidak dikategorikan oleh budaya lain sebagai kursi tetapi sebagai bentuk
lain dari tempat tidur.
Percobaan
menarik dilakukan oleh Bruner dan Grenfield (1966), dalam Matsumoto, (1966)
yang mendukung hipotesa adanya pengaruh budaya dalam proses kategorisasi oleh
kognititif manusia. Pada para responden ditunjukkan beberapa gambar binatang
dan beberapa lagi adalah gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta melakukan
kategorisasi beberapa lagi adalah gambar perlengkapan kerja. Mereka diminta
melakukan kategorisasi terhadap gambar-gambar tersebut atas dasar perbedaan
warna. Hal ini menjadikan kesimpulan awal harus ditinjau ulang, pasti ada
sesuatu yang lebih dari kesedar penjelasan sederhana akan kematangan yang
mempengaruhi adanya perbedaan dalam proses kategorisasi dari kedua komunitas
yang mempengaruhi sesuatu yang lebih dari sekedar penjelasan sederhana akan
kematangan yang mempengaruhi adanya perbedaan dalam proses kategorisasi dari
kedua komunitas budaya tersebut.
Sejauh ini
perbedaan di atas diasumsikan terhadi sebagai pengaruh tingkatan pendidikan
Evans dan Segall (1969, dalam Matsumoto, 1996) melakukan penelitian di Uganda
terhadap anak dan orang dewasa penduduk setempat. Beberapa diantara responden
anak maupun dewasa memiliki pendidikan yang cukup baik sedangkan yang lain
tidak mengenyam pendidikan. Hasilnya ditemukan bahwa tidak ada perbedaan,
sebagaimana percobaan Greenfield, antara responden dewasa yang tidak memperoleh
pendidikan dengan responden anak-anak baik yang sekolah maupun yang tidak.
Sebaliknya ada perbedaan dasar kategorisasi antara responden dewasa yang
memperoleh pendidikan dengan anak- anak baik yang sekolah maupun yang tidak.
Hasil ini menunjukkan bahwa anak-anak baik yang sekolah maupun yang tidak.
Hasil ini menunjukkan bahwa anak-anak melakukan kategorisasi atas dasar
yang lebih kompleks.
C. Budaya dan Memori
Memori ialah
proses pengolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean,
penyimpanan, pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut. Dalam
hubungannya dalam penyimpanan dan pemanggilan kembali informasi-informasi
tersebut, memori dibedakan menjadi memori jangka pendek (short term memory)
yang jangka waktu menyimpan informasi tidak lebih dari 15-25 detik dan memori
jangka panjang (long term memory) atau memori yang menyimpan informasi relatif
permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam memanggilnya kembali (Dayakisni,
2008)
Ross dan Millson
(Matsumoto dalam Dayakisni, 2008) melakukan sebuah penelitian dengan
membandingkan daya ingat pelajar Amerika dan pelajar Ghania. Mereka menduga
bahwa tradisi oral membuat orang lebih baik dalam kemampuan daya ingatnya.
Penelitian mereka ini ialah dengan membacakan cerita dengan suara yang keras
dan membandingkan bahwa pelajar Ghania secara umum dapat mengingat isi cerita
lebih baik daripada pelajar Amerika. Masih dalam Matsumoto (1996), Cole (1971)
menemukan hal lain bahwa sekalipun masyarakat non-literate dapat mengingat isi
cerita lebih baik namun kemampuan mereka dalam mengingat daftar kata cenderung
lebih lama.
Serial Position
Effect merupakan salah satu aspek memori yang paling dikenal karena pada
hipotesa ini juga menerangkan bahwa seorang individu akan mampu mengingat lebih
baik bagian pertama yang dibaca (primary effect) atau bacaan terakhir dari
daftar kata yang harus diingat (recency effect). Meskipun demikian Wagner
(dalam Matsumoto, 1996 dalam Dayakisni, 2008) menjelaskan bahwa primary effect
ini juga berhubungan dengan pendidikan. Ia membandingkan kelompok anak Moroccan
antara yang sekolah dan yang tidak pernah mendapat pendidikan. Hasilnya ialah
primary effect cenderung lebih kuat pada anak yang pernah mengenyam pendidikan.
Perbedaan Budaya dalam
Memori
Anugerah Tuhan
yang begitu besar pada manusia barangkali salah satunya adalah memori. Dengan
memiliki memori, manusia bias mengingat pengetahuan yang telah diperolehnya
sehingga bias membangun peradabannya, mengingat nama teman yang telah bertahun-tahun
tidak bertemu lengkap dengan tahi lalat didagunya dan juga tempat serta
peristiwa dimana pertama kali bertemu kekasih hati. Tetapi kadangkala kita juga
merasa aneh ketika lupa dimana menaruh kunci mobil yang baru sekitar beberapa
menit lalu masih kita pegang, atau lupa jawaban ujian yang sebenarnya tidak
lebih sepuluh menit lalu kit abaca dan kita masih ingat halamannya.
Memori sendiri
adalah sebuah proses pengelolahan informasi dalam kognitif yang meliputi
pengkodean (encoding),
penyimpangan (strore), dan
pemanggilan kembali (retrieve)
informasi. Berdasar jangka waktunya, memori dibedakan atas memori jangka pendek
yaitu memori yang menyimpan informasi relative permanen meskipun kadang ada
kesulitan dalam memanggil kembali (Feldman, 1999).
Masalah memori
ini menjaid menantang ketika dikaitkan dengan perbedaan budaya. Apakah budaya
yang berbeda mempengaruhi kemampuan, cara, serta apa yang dimemori? Termasuk
budaya yang berbeda mempengaruhi kemampuan memori yang lebih baik daripada
masyarakat yang sudah memiliki budaya baca tulis (literate) karena mereka
terbiasa harus mengingat segala informasi yang ingin mereka ingat tanpa
menuliskannya ataukah sebaliknya? Benarkah masyarakat yang sudah memiliki
budaya tulis lebih lemah memorinya karena terbiasa menggunakan bantuan catatan
dalam melakukan pengingatan?
Ross dan
Millison (1970, dalam Matsumoto, 1996) menduga bahwa tradisi oral membuat orang
lebih baik dalam kemampuan daya ingat. Mereka mendapatkan kesimpulan ini
berdasarkan hasil penelitiannya yang membandingkan daya ingat pelajar Amerika
dengan menemukan bahwa secara umum remaja Ghania mengingat isi cerita lebih
baik daripada pelajar Amerika.
Cole selanjutnya
membangun asumsi bahwa mengingat informasi-informasi yang saling tidak terkait
merupakan hal yang sulit bagi individu yang tidak mendapat pendidikan dan
sebaliknya tidak bagi yang pernah mengeyam pendidikan. Hal ini dikarenakan di
sekolah murid terbiasa untuk mengingat huruf-huruf, berbadai macam data ataupun
table, rumus-rumus dan sebagainya yang sesungguhnya merupakan simbol-simbol
abstrak (tidak memiliki makna ketika dihubungkan dengan symbol lain, contohnya
gabungan huruf-huruf hingga menjadi sebuah kata). Scribner (1974, dalam
Matsumoto, 1996) melakukan penelitian pada subyek Afrika antara kelompok yang
berpendidikan dengan kelompok yang tidak pernah mendapat pendidikan. Hasilnya
ternyata sangat mendukung penelitian Cole, yaitu bahwa kelompok Afrika yang
mendapat pendidikan mempunyai kemampuan mengingat informasi acak sama baiknya
dengan kelompok responden Amerika. Sebaiknya kemampuan kelompok responden
Arfika yang tidak pernah mendapat pendidikan ternyata lebih rendah.
Salah satu aspek
memori yang paling dikenal adalah apa yang disebut Serial Position Effect. Hipotesa ini menerangkan bahwa apa yang kita
ingat lebih baik adalah bagian pertama yang kit abaca(primacy effect) atau yang kit abaca terakhir kali (recency effect) dari daftar kata yang
harus kita ingat. Menariknya, Cole dan Scribner (1974, dalam Matsumoto, 1996)
menemukan tidak adanya hubungan anatara serial position dengan kemungkinan apa
yang diingat dari penelitiannya pada masyarakat Kpelle pedalaman Liberia.
Wagner (1980,
dalam Matsumoto, 1996) berpendapat bahwa primacy
effect tergantung pada pengulangan dan strategi memori ini berhubungan
dengan pendidikan. Wagner membandingkan kelompok anak Moroccan antara yang
sekolah dengan yang tidak pernah sekolah dan menemukan bahwa primacy effect cenderung sangat kuat
terjadi pada anak-anak yang mendapat pendidikan. Selanjutnya, Wagner membagi proses
memoti atas dua macam, yaitu hardware atau kemampuan dasar dari memori (The
Basic Limitation of Memory) yang tidak berubah dalam lintas budaya seperti
tahap kemampuan memori pada anak dan Software atau bahasa pemrograman-pemrograman
bagian kita mengingat sesuatu kemampuan ini dipelajari. Pada bagian pemrograman
inilah peran pendidikan dan budaya berpengaruh.
D. Budaya
dan Problem Solving
Problem solving merupakan suatu
proses dalam usaha menemukan urutan yang benar dari alternative-alternative
jawaban suatu masalah dengan mengarah pada satu sasaran atau kea rah pemecahan
yang ideal. Beberapa asumsi menjelaskan bahwa kemampuan ini sangat tekait
dengan faktor pendidikan dan pengalaman termasuk pengalaman dengan lingkungan
budaya tentunya. Namun para psikolog telah mencoba memisahkah proses problem
solving dan budaya dengan meminta individu-individu dari berbagai latar budaya
untuk memecahkan permasalahan – permasalahan yang tidak familiar dalam
kehidupan sehari-hari mereka.
Salah satu penelitian
yang mencoba memahami perbedaan problem
solving dalam lintas budaya adalah yang dilakukan Cole (1971). Ia
mengambil subjek orang-orang dari Amerika dan Liberia. Dalam penelitiannya, ia
menggunakan sebuah piranti yang memiliki beberapa banyak tombol, panel, dan lubang
(stot). Untuk dapat membuka piranti tersebut dan mendapat hadiah yang
ada di dalamnya, para subyek harus melakukan penggabungan dua prosedur, yang
pertama yaitu menekan tombol yang tepat untuk melepas sebuah kelerang dan kedua
adalah memasukkan kelerang ke dalam lubang yang tepat agar panel dapat terbuka
sehingga pirantipun terbuka. Subyek anak Amerika yang berusia di bawah 10 tahun
ditemukan tidak mampu memecahkan masalah ini dengan mudah. Namun problem
solving ini dengan sangat mudah. Sebaliknya hampir keseluruhan subyek
Liberia, dan semua usia dan latar belakang pendidikan, tampak mengalami
kesulitan besar untuk menemukan cara gan langkah yang tepat membuka piranti.
Kesimpulan yang diambil berdasar temuan ini adalah orang-orang Amerika memiliki
kemampuan problem solving yang lebih baik dibandingkan orang
Liberia utamanya dalam berpikir reasoning.
Penelitian ini
mendapat kritik tajam dan dikatakan bias budaya. Para subyek Amerika mampu
mengerjakan permasalahan yang diberikan dalam percobaan karena dalam kehidupan
sehari-hari mereka telah terbiasa berhadapan dan menggunakan mesin-mesin
tersebut, seperti: remote control, computer, mesin cuci dsb,
sedangkan orang-orang Liberia tidak terbiasa berhadapan dengan piranti semacam
itu dalam kehidupannya. Alat yang digunakan dikatakan memberikan keuntungan
bagi orang Amerika dan member kecemasan tersendiri bagi subjek Liberia.
Cole dan rekan-rekannya
selanjutnya mengulang percobaan dengan mengganti alat percobaan dengan sebuah
kotak terkunci beserta kunci-kuncinya. Kotak dan kunci dilihat kurang bias
budaya karena orang-orang Liberia juga sudah mengenai hal semacam ini bila
dibandingkan dengan mesin beserta tombol-tombolnya. Pemecahan masalah tetap
dirancang dengan kombinasi dua prosedur, yaitu subjek harus mengingat kotak-kotak
kecil yang berisi kunci yang tepat dengan kunci-kunci mana yang tepat untuk
membuka lubang kunci yang tepat. Hasil penelitian ternyata sangat berbeda
dengan percobaan sebelumnya, semua subyej baik dari Amerika maupun Liberia
mampu menyelesaikan tugas yang diberikan dengan waktu yang hampir sama atau
dengan kata lain dengan sama mudahnya.
Kesuksesan
percobaan Cole ini masih dipertanyakan, percobaan di atas meneliti kemampuan
berpikir logis atau mengetes pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka
miliki terkait dengan kotak-kota dan kunci. Guna menjawab permasalahan ini Cole
kembali mengadakan percobaan ketiga dengan prosedur gabungan dan percobaan
pertama dan kedua. Subyek diminta membuka kotak dengan kunci-kunci yang kunci-kunci
tersebut harus diambil dari piranti yang tertutup. Untuk membuka piranti
tersebut subyek harus menekan tombol yang tepat, mengambil kelereng, dan
memasukkan kelereng ke dalam percobaan pertama. Subyek-subyek Liberia mengalami
kesulitan untuk menyelesaikan masalah yang diajukan.
Cole selanjutnya
menarik kesimpulan baru bahwa kemampuan orang Liberal untuk berpikir logis guna
memecahkan suatu masalah sangat tergantung konteks. Ketika masalah yang
disajikan menggunakan material dan konsep yang sudah mereka kenal, orang-orang
Liberia berpikir logis sama baiknya dengan orang-orang Amerika. Sebaliknya
ketika masalah yang disajikan kurang mereka kenal, mereka tampak mengalami
kesulitan dari mana memulai langkah pemecahan masalah. Namun tidak dapat
ditarik kesimpulan bahwa orang Liberia memiliki kemampuan problem solving yang
lebih rendah dibandingkan dengan orang Amerika. Sangat mungkin, sebaliknya,
orang-orang Amerika akan mengalami kesulitan ketika masalah yang diajukan juga
kurang mereka kenal namun sangat dekat dengan orang-orang Liberia, misalnya:
menelusuri jejak binatang dengan menggunakan penciuman dan bekas jejak kakinya.
Tipe
permasalahan lain yang diteliti dalam kaitan problem solving dengan
perbedaan budaya adalah kemampuan berpikir silogis (vontoh: semua bocah suka
permen, Siti masih kanak-kanak, apakah Siti menyukai permen ?). dalam
penelitiannya yang luas pada masyarakat di Asia Timur dan Tengah yang dikatakan
masih tribal (tradisional) dan nomaden (hidup berpindah-pindah), Luria (1976)
menemukan bahwa kemampuan berpikir silogis ini lebih berkaitan secara
signifikan dengan pendidikan dari pada dengan perbedaan budaya. Subyek rata-rata
kurang mampu memberikan jawaban yang benar ketika diajukan pertanyaan silogis,
namun pada subyek yang sudah pernah bersekolah sekalipun hanya setahun dan juga
dari komunitas yang sama (tinggal di desa tersebut) ternyata sudah mampu
memberikan jawaban yang benar. Dimana tingkat kebenaran ini selaras
(signifikan) dengan tingkat pendidikan.
Beberapa analisa
coba diberikan untuk menjelaskan ketidakmampuan orang yang tidak memiliki
kemampuan baca tulis untuk menjawab pertanyaan silogis. Luria menyakini bahwa
orang-orang yang tidak memiliki kemampuan baca tulis memiliki pola pikir yang
berbeda dengan orang-orang yang sudah mampu baca tulis. Kerangka pikir ini
merupakan hasil belajar yang dipelajari di sekolah. Mulai dari pengenalan
huruf, menggambungkan dua huruf menjadi suku kata, dan menggabungkan suku kata
suku kata menjadi sebuah kata merupakan dasar pola silogisme.
Persamaan
dan perbedaan antar budaya dalam hal Sosial Cognitif
Kognitif diartikan
sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan menggunakan
pengetahuan. Dalam psikologi, kognitif adalah referensi dari faktor-faktor yang
mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu hal yang berusaha
menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak sebagi
aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan
yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial. Sedangkan kebudayaan
(culture) dalam arti luas merupakan
kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam rangka mempertahankan
kelangsunganhidupnya. Manusia akan selalu melakukan kreativitas (dalam arti
luas) untuk memenuhi kebutuhannya (biologis, sosiolois, psikologis) yang
diseimbangkan dengan tantangan, ancaman, gangguan, hambatan (AGHT) dari
lingkungan alam dan sosialnya.
Ada berbagai hal
yang berhubungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam pengaruhnya terhadap
lintas budaya :
A.
Intelegensi Umum
Menurut David
Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir
secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis
besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang
melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak
dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai
tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Sementara itu,
Sartono Kartodirdjo (dalam Kebudayaan Indis. 2011. Soekiman,Djoko) membagi
masyarakat Hindia Belanda berdasarkan pendidikannya. Perkembangan pendidikan
dan pengajaran menumbuhkan golongan ssosial baru yang mempunyai fungsi dan
status baru, sesuai dengan diferensiasi dan spesialisasi dalam bidang sosial
ekonomi dan pemerintahan.
Menurut Sartono,
stratifikasi masyarakat Hindia Belanda adalah :
(1)
Elite birokrasi yang
terdiri atas Pangreh Praja Eropa (Europees Binnenlands Bestuur) dan Pangreh
Praja Pribumi
(2)
Priyayi Birokrasi
termasuk Priyayi Ningrat,
(3)
Priyayi Profesional
(dibagi menjadi dua, ada priyayi gedhe dan priyayi cilik),
(4)
Golongan Belanda dan
Golongan Indo yang secara formal masuk status Eropa dan mempunyai tendensi kuat
untuk mengidentifikasi diri dengan pihak Eropa, dan
(5)
Orang kecil (wong
cilik) yang tinggal di kampung.
B.
Gaya Kognitif
Dalam
(Kebudayaan Indis.2011. Soekiman, Djoko) menyebutkan aspek kognitif berhubungan
dengan tingkat perasaan, yang sangat sulit untuk dilukiskan dan diamati. Hal
ini berkaitan dengan berbagai aktivitas dan meliputi berbagai objek karena
peneliti mendapatkan struktur-struktur dasar yang komplek sehingga peneliti
perlu membatasi diri dan mempersempit garis besar permasalahan. Hal ini lebih
sulit diartikan karena justru gaya Indis berpangkal pada dua akar kebudayaan,
yaitu Belanda dan Jawa yang sangat jauh berbeda.
Untuk
memahaminya perlu diketahui adanya suatu pengertian situasi atau fenomena
kekuasaan kolonial dalam segala aspek dan proporsinya. Sebagai contoh, misalnya
dalam hal membnagun rumah tempat tinggal dengan susunan tata ruangnya. Arti
simbolik suatu bagian ruang rumah tinggal berhubu ngan dengan perilaku
penghuninya. Pada suku Jawa, misalnya, tidaak dikenal ruang khusus bagi
keluarga dengan pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, famili, bahkan diantara
anggota dan bukan anggota penghuni rumah. Maka fungsi ruang tidak dipisahkan
atau dibedakan dengan jelas.
Contoh lain yang
sangat menarik adalah keselarasaan sistem simbolik, khususnya gaya hidup.
Betapa canggungnya orang pribumi Jawa yang hidup secara tradisional di kampung,
kemudian pindah untuk bertempat tinggal di dalam rumah gedung di dalam blok
atau kompleks dengan suasana rumah bergaya Barat yang modern. Kelengkapan rumah
tangga yang serba asing, pembagian ruang-ruang di dalam rumah dengan fungsi
yang khusus, fungsi ruang secara terpisah (apart) untuk terjaminnya privilege atau privacy penghuninya, semua itu menambah kecanggungan orang Pribumi
untuk tinggal di dalam rumah yang asing. Anggapan bahwa rumah adalah model alam
mikrokossmos menurut konsep pikiran Jawa dan sebagainya, tidak adapada alam
pikiran Eropa. Apakah rumah gaya Indis sebagai tempat tinggal baru
diinterpretasikan dengan pola konsep lama atau tradisional Jawa? Hal ini belum
jelas.
Dalam
menganalisis aspek kognitif gaya Indis, kita perlu memperhitungkan konteks
budaya Belanda dan Jawa. Jelas bahwa rumah tempat tinggal orang Belanda tidak
dihubungkan dengan kosmos dan tidak mempunyai konotasi ritual seperti pandangan
dan kepercayaan Jawa. Memang, orang Eropa mengenal peletakan batu pertama dan
pemancangan bendera di atas kemuncak bangunan runmahnya yang sedang dibangun
dengan diikuti pesta minum bir, tetapi hal semacam ini adalah peninggalan
budaya lama mereka. Kegiatan itu adalah “gema” saja dari adat lama yang sudah
kabur pengertiannya. Bagi orang Jawa, menaikkan mala (tiang) sebuah rumah
tinggal dengan slametan, melekan (wungon, bedagang), meletakkan secarik kain
tolak bala, sajen, dan memilih hari baik, memiliki arti simbolik tertentu. Bagi
orang Jawa, meninggalkan adat kebiasaan seperti itu sangat berat karena adanya
paham kepercayaan terhadap kekuatan supranatural yang sulit dijelaskan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kognisi
adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah
masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri
Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada
setiap benda atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Proses-proses
mental dari kognisi mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada
beberapa aspek kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokkan), memori (ingatan)
dan pemecahan masalah (problem solving).
Salah satu
proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kateorisasi.
Kategorisasi dilakukan umumnya atas dasar persamaan dan perbedaan
karakter dari obyek-obyek dimaksud. Selain itu fungsi dari obyek juga merupakan
deterministic utama inidari proses kategorisasi. Missal, ketika kita melakukan
kategorisasi mengenai buku. Ada bermacam-macam buku mulai dari buku cerita,
buku tulis, buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak-anak. Semuanya kita
masukkan dalam kategorisasi karena kesamaan bentuknya dari fungsinya yaitu
tempat menuliskan sesuatu.
Memori ialah
proses pengolahan informasi dalam kognitif yang meliputi pengkodean,
penyimpanan, pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut. Dalam
hubungannya dalam penyimpanan dan pemanggilan kembali informasi-informasi
tersebut, memori dibedakan menjadi memori jangka pendek (short term memory) yang jangka waktu menyimpan informasi tidak
lebih dari 15-25 detik dan memori jangka panjang (long term memory) atau memori
yang menyimpan informasi relatif permanen meskipun kadang ada kesulitan dalam
memanggilnya kembali (Dayakisni, 2008)
Problem solving merupakan suatu
proses dalam usaha menemukan urutan yang benar dari alternative – alternative
jawaban suatu masalah dengan mengarah pada satu sasaran atau kea rah pemecahan
yang ideal.
B. SARAN
Makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca. Semoga isi dari makalah ini bermanfaat bagi pembaca
khususnya mahasiswa jurusan bimbingan dan konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Walgito, Bimo. 2004. Psikologi
Umum. Yogyakarta; Penerbit Andi.
Walgito, Bimo. 1999. Psikologi
Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta; Penerbit Andi.
www.mindscapecenter.com
Komentar
Posting Komentar