BUDAYA DENGAN PERILAKU BAHASA
MAKALAH
KONSELING LINTAS BUDAYA
Tentang
BUDAYA DENGAN PERILAKU BAHASA
![]() |
OLEH
:
KELOMPOK
III
SESI 2012 E
YOLLA MASDA RILFANI 12060156
NENGSIH SISKAWATI 12060163
NOVI ERISTA 12060164
EVA SUSIETI 12060166
MIA TAMILA 12060168
RAHMAH TUSA’DIAH 12060170
DOSEN PEMBIMBING :
Dra. Zikra, M.Pd., Kons.
PROGRAM
STUDI BIMBINGAN
DAN KONSELING
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP)
PGRI SUMATERA BARAT
PADANG
2014
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Budaya Dengan
Perilaku Bahasa”.
Makalah ini penulis ajukan guna memenuhi tugas mata kuliah “Konseling Lintas Budaya”
Penulis
mengucapkan terimakasih terutama
kepada “Dosen Pembimbing Mata Kuliah Konseling Lintas Budaya,
Ibu Dosen Dra. Zikra, M.Pd., Kons.” dan kepada
semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan.
Tak ada gading
yang tak retak, begitu juga dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaaan, baik materi maupun teknik penulisannya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga makalah ini
bisa mencapai kesempurnaan sebagaimana mestinya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
yang membaca khususnya terhadap penulis. Atas kritik dan saran yang diberikan
penulis ucapkan terimakasih.
Padang, September 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................................ ii
Bab I Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Masalah ............................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
C.
Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 1
D.
Manfaat Penulisan ..................................................................................................... 2
Bab II Pembahasan
A.
Pengertian Bahasa ...................................................................................................... 3
B.
Pengertian Budaya ..................................................................................................... 4
C.
Hubungan Antara
Bahasa Dengan Budaya ............................................................... 5
D.
Fenomena Antara
Bahasa dan Budaya ...................................................................... 6
E.
Pengaruh Bahasa
Terhadap Perubahan Budaya ........................................................ 8
Bab III Penutup
A.
Kesimpulan ............................................................................................................... 10
B.
Saran ......................................................................................................................... 11
Kepustakaan
Mind Mapping
Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Telah
dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara
genetis hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang
atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak
mampu melakukan itu semua. Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh
warganya untuk berkomunikasi.
Kelangsungan
hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan
dialami penuturnya. Dengan kata lain, budaya yang ada di sekeliling bahasa
tersebut akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah itu
Bahasa ?
2. Apakah itu
Budaya ?
3. Bagaimanakah
Hubungan Antara Bahasa dengan Budaya ?
4. Bagaimanakah Fenomena Antara Bahasa dan Budaya ?
5. Bagaimanakah
Pengaruh Antara Bahasa dan Budaya ?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui apakah itu bahasa
2. Untuk
mengetahui apa itu budaya
3. Untuk
mengetahui hubungan antara bahasa dengan budaya
4. Untuk
mengetahui fenomena antara bahasa dan budaya
5. Untuk
mengetahui pengaruh antara bahasa dan budaya
D.
Manfaat
Penulisan
1.
Agar dapat mengetahui apakah itu bahasa
2.
Agar dapat mengetahui apa itu budaya
3.
Agar dapat mengetahui hubungan antara bahasa dengan
budaya
4.
Agar dapat mengetahui fenomena antara bahasa dan budaya
5.
Agar dapat mengetahui pengaruh antara bahasa dan budaya
BAB II
PEMBAHASAN
BUDAYA DENGAN PERILAKU BAHASA
A.
PENGERTIAN BAHASA
Istilah “Bahasa” dalam bahasa Indonesia, sama dengan
“Language” dalam bahasa Inggris,
taal dalam bahasa Belanda, “Sprache” dalam bahasa Jerman, “Lughatun” dalam bahasa Arab dan “bahasa” dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut,
masing-masing mempunyai aspek tersendiri, sesuai dengan pemakainya, untuk
menyebutkan suatu unsur kebudayaan yang mempunyai aspek yang sangat luas,
sehingga merupakan konsep yang tidak mudah didefinisikan.
Seperti yang diungkapkan oleh para
ahli:
1. Menurut Sturtevent berpendapat bahwa
bahasa adalah sistem lambang sewenang-wenang, berupa bunyi yang digunakan oleh
anggota-anggota suatu kelompok sosisal untuk kerjasama dan saling berhubungan.
2. Menurut Chomsky language is a set of
sentences, each finite length and contructed out of a finite set of elements.
3. Menurut Keraf, bahasa adalah alat
komunikasi antara anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Masih banyak lagi definisi tentang bahasa yang dikemukakan
oleh para ahli bahasa. Setiap batasan yang dikemukakan
tersebut, pada umumnya memiliki konsep-konsep yang sama, meskipun terdapat
perbedaaan dan penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan tersebut,
dapat disimpulkan sebagaimana dinyatakan Linda Thomas dan Shan Wareing dalam
bukunya “Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan” bahwa salah satu cara dalam
menelaah bahasa adalah dengan memandangnya sebagai cara sistematis untuk menggabungkan unit-unit kecil menjadi
unit-unit yang lebih besar dengan tujuan komunikasi.
Sebagai contoh, kita menggabungkan bunyi-bunyi bahasa
(fonem) menjadi kata (butir leksikal) sesuai dengan aturan dari bahasa yang
kita gunakan. Butir-butir leksikal ini kemudian digabungkan lagi untuk membuat struktur
tata bahasa, sesuai dengan aturan-aturan sintaksis dalam bahasa.
Dengan demikian bahasa merupakan ujaran yang diucapkan
secara lisan, verbal secara arbitrer. Lambang, simbol, dan tanda-tanda yang
digunakan dalam bahasa mengandung makna yang berkaitan dengan situasi hidup dan
pengalaman nyata manusia.
B.
PENGERTIAN BUDAYA
Kebudayaan menurut Clifford Geertz
sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya Antropologi
Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna
yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada
dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem
struktur dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat
diindentifikasi, dan bersifat publik.
Adapun menurut Gooddenough sebagaimana disebutkan
Mudjia Rahardjo dalam bukunya “Relung-relung Bahasa” mengatakan bahwa budaya suatu
masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang sehingga dia bisa bertindak sesuai
dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu
merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang
lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan “cara” yang harus
dimiliki seseorang untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya.
Dalam konsep ini kebudayaan dapat
dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak
dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai
anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam
berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku
manusia.
Adapun menurut Canadian Commision
for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam mengatakan kebudayaan adalah
sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi
asumsi, kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang memperbolehkan anggota
kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan komunikasi dan membangun
potensi kreatif mereka.
Definisi-definisi di atas dan
pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan menurut Abdul
Chaer yaitu:
1. Definisi deskriptif yakni definisi
yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan.
2. Definisi historis yakni definisi
yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan.
3. Definisi normatif yakni definisi
yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku.
4. Definisi psikologis yakni definisi
yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam menyesuaikan diri kepada
lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup.
5. Definisi sturktural yakni definisi yang menekankan sifat
kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur.
6. Definisi genetik yang menekankan
pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang
dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu
masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan
dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan
kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu berupa
produk material atau non material.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang
terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial
masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku
bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup
berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah
budaya nasional.
C.
HUBUNGAN ANTARA BAHASA DAN BUDAYA
Ada berbagai teori mengenai hubungan
bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari
kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan
merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga
tidak dapat dipisahkan.
Ada yang mengatakan bahwa bahasa
sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan
akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa
bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat
penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana
dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa
bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan
hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.
Namun pendapat lain ada yang
mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif,
yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw
menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada
manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di
dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai
sarana berlangsungnya interaksi itu.
Dengan demikian hubungan bahasa dan
kebudayaan seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang sangat erat sekali bagaikan dua
sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain
sebagai sistem kebudayaan.
D.
FENOMENA ANTARA BAHASA DAN BUDAYA
Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri
manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat
komunikasi antar personal. Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di
dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, makna tidak pernah
bersifat absolute yaitu selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu
kepada tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada
budaya. Karena itu bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya
selalu dibayangi oleh budaya.
Dalam analisis semantik, Abdul Chaer
mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya
berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa
lain.
Umpamanya kata ikan dalam bahasa
Indonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan
sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa Banjar disebut
iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish.
Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman pemakan
nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut iwak. Mengapa hal ini bisa terjadi? Semua ini
karena bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan
dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Dalam budaya masyarakat Inggris yang
tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya ada kata rice untuk menyatakan
nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu, kata rice pada konteks tertentu
berarti nasi pada konteks lain berarti gabah dan pada konteks lain lagi berarti
beras atau padi.
Lalu karena makan nasi bukan
merupakan budaya Inggris, maka dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain yang
masyakatnya tidak berbudaya makan nasi; tidak ada kata yang menyatakan lauk
atau iwak (bahasa Jawa).
Contoh lain dalam budaya Inggris
pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim yang sama) berdasarkan
jenis kelamin: brother dan sister.
Padahal budaya Indonesia membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut
kakak dan yang lebih muda disebut adik. Maka itu brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak dan bisa
juga berarti adik.
Fenomena lain, misalnya budaya Inggris
dan budaya Indonesia dalam memandang waktu sehari semalam yang 24 jam. Pukul satu
malam budaya Inggris mengatakan Good
morning alias selamat pagi; padahal budaya Indonesia mengatakan selamat
malam karena memang masih malam, matahari belum terbit. Sebaliknya pukul
sebelas siang, budaya barat masih juga mengatakan selamat pagi; padahal budaya
Indonesia mengucapkan selamat siang karena memang hari sudah siang, matahari
sudah tinggi.
Selain itu dalam bahasa yang
penuturnya terdiri dari kelompok-kelompok yang mewakili latar belakang budaya,
pandangan hidup dan status sosial yang berbeda, maka makna sebuah kata bisa
menjadi berbeda atau memiliki nuansa makna yang berlainan. Umpamanya kata “butuh” dalam masyarakat Indonesia di Pulau
Jawa berarti perlu, tetapi dalam masyarakat Indonesia di Kalimantan berarti
kemaluan.
Demikian pula dalam bahasa jawa
terdapat tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya, tingkat tutur karma misalnya
kata aku, kulo, dalem kawula atau kata kowe, sampeyan, panjenengan, paduka.
Tingkat tutur ngoko memiliki makna
rasa tak berjarak antara orang pertama dengan orang kedua misalnya. karma
adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun antara sang penutur
dengan mitranya. Madya adalah tingkat tutur menengah yang berada antara ngoko dan
karma. Banyak orang menyebut bahwa tingkat tutur ini setengah sopan dan
setengah tidak sopan.
Orang Bogor memanggil remaja lelaki
dengan panggilan “Neng” sedangkan panggilan itu biasanya untuk anak perempuan atau
wanita muda di Bandung. Sedangkan orang Makassar dan Ambon menggunakan kata
bunuh (yang tentu sinonimnya matikan) untuk listrik, lampu televisi dan radio.
Seperti dalam kalimat “tolong bunuh lampunya”, sudah siang. Sementara itu kata
bujur yang berarti pantat bagi orang Sunda, ternyata berarti “terima kasih”
bagi orang Batak (Karo), dan “benar” bagi orang Kalimantan Selatan
(Banjarmasin).
Begitu juga bahasa Jawa sebagaimana
disebutkan Abdul Wahab, yang ada kaitannya dengan kelapa. Dalam
bahasa Jawa kita mengenal janur (daun muda kelapa), blarak (daun tua kelapa),
sada (lidi atau tulang daun kelapa), plapah (tempat daun kelapa melekat), tebah
(sekumpulan lidi untuk menghalau atau menangkap lalat atau nyamuk), manggar
(srangkaian kuntum bunga kelapa), mandha (tunas kelapa), bluluk ( buah kelapa
yang masih sangat muda dan belum berair), cengkir (buah kelapa muda bertulang
tempurung lunak tapi belum berdaging), degan (buah kelapa muda yang sudah
bedaging lunak), krambil (kelapa yang sudah tua dan dapat dipakai
sebagai bahan minyak goreng), glugu (batang kelapa sebagai bahan bangunan). Uraian di atas menunjukan bahwa tak
diragukan lagi bahwa budaya suatu bangsa tercermin dalam bahasanya.
Beberapa keistimewaan bahasa yang dipakai suatu bangsa atau daerah
tertentu adalah untuk membatasi cara-cara berpikir
dan pandangan bangsa atau daerah yang bersangkutan terhadap fenomena tempat
mereka hidup. Dengan demikian sususan bahasa dan keistimewaan lain yang
dimiliknya merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat
alam dan tempat mereka berada.
E.
PENGARUH BUDAYA TERHADAP PERUBAHAN BAHASA
Pengaruh budaya terhadap bahasa
dewasa ini banyak kita saksikan. Banyak kata atau istilah baru yang dibentuk
untuk menggantikan kata atau istilah lama yang sudah ada. Hal tersebut karena
dianggap kurang tepat, tidak rasional, kurang halus, atau kurang ilmiah.
Misalnya kata pariwisata untuk
menggantikan turisme, kata wisatawan untuk menggantikan turis atau pelancong. Kata darmawisata untuk mengganti
kata piknik; dan kata suku cadang untuk mengganti kata onderdil. Kata-kata
turisme, turis dan onderdil dianggap tidak nasional. Karena itu perlu diganti
yang bersifat nasional.
Kata-kata kuli dan buruh diganti
dengan karyawan, babu diganti dengan pembantu rumah tangga, dan kata pelayan
diganti dengan pramuniaga, karena kata-kata tersebut dianggap berbau feodal.
Begitu juga dengan kata penjara
diganti dengan lembaga pemasyarakatan, kenaikan harga diganti dengan
penyesuaian harga, gelandangan menjadi tuna wisma, pelacur menjadi tuna susila adalah karena kata-kata
tersebut dianggap halus ; kurang sopan menurut pandangan norma sosial. Proses
penggantian nama atau penyebutan baru masih terus akan berlangsung sesuai
dengan perkembangan pandangan dan norma budaya di dalam masyarakat.
Begitu juga bahasa yang diplesetkan
yang tidak lepas dari perkembangan pengetahuan, pertukaran budaya, dan kemajuan
informasi sekarang ini. Sebagaimana Mansoer Pateda mengatakan bahwa bahasa yang
diplesetkan sangat berhubungan erat dengan perkembangan pemakai bahasa untuk
menyampaikan pikiran, perasaan, dan kemauannya.
Misalnya kata kepala diplesetkan
menjadi kelapa, tolong diplesetkan menjadi lontong, reformasi diplesetkan
menjadi repot nasi, partisipasi diplesetkan menjadi partisisapi. Begitu juga
dalam kalimat misalnya I am going to school menjadi ayam goreng to school.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Di dunia terdapat berbagai kelompok
manusia dengan budaya dan subbudaya yang berbeda, tidak mengherankan bila
terdapat kata-kata yang kebetulan sama atau hampir sama tetapi dimaknai secara
berbeda, atau kata-kata yang berbeda namun dimknai secara sama. Konsekuensinya,
dua orang yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi mengalami
kesalahpahaman ketika mereka menggunakan kata yang sama.
Oleh karenanya suatu masyarakat
bahasa, dituntut adanya kesamaan atau keseragaman bahasa di antara para
anggotanya. Tanpa adanya keseragaman bahasa, hubungan sosial akan runtuh, sebab
di antara anggota masyarakat itu tidak akan terjadi saling mengerti dalam
berkomunkasi verbal.
Seperti halnya Masyarakat Indonesia
yang majemuk yang sangat kaya dengan berbagai macam bahasa daerah memiliki
bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Walaupun demikian disisi lain
perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan
integrasi sosial masyarakat tersebut.
Pluralisme masyarakat, dalam tatanan
sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan budaya
yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya
Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk
kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik.
Permasalahan silang budaya dan
bahasa dapat terjembatani dengan membangun kehidupan multi kultural yang sehat yaitu dilakukan dengan meningkatkan
toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang dapat diawali dengan pengenalan
bahasa dan ciri khas budaya tertentu.
Dengan demikian sebagai orang
terpelajar harus bisa memposisikan diri dengan memperhatikan beberapa hal sebagaimana
Mudjia Rahardjo katakan bahwa penggunaan bahasa akan terus berbeda tergantung
pada situasi, yaitu apakah situasi itu publik atau pribadi, formal atau
informal, dengan siapa kita bicara, dan siapa yang mungkin ikut mendengarkan
kata-kata itu. Satu hal yang tak terpisahkan dari pilihan-pilihan yang kita
buat dalam penggunaan bahasa yaitu dimensi budaya.
B.
Saran
Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis pada khususnya. Semoga kita
sebagai calon konselor masa depan yang profesional dapat memahami berbagai
ragam kebudayaan yang dimiliki oleh klien kita nantinya. Semoga dengan membaca
makalah ini dapat memberikan penambahan ilmu pengetahuan yang baru bagi pembaca
dan penulis pada khususnya.
KEPUSTAKAAN
Bainar, Hajjah, dkk 2006.. Ilmu Sosial, Budaya dan
Kealaman Dasar. Jakarta : Jenki Satria
Khaer, Abdul dan Leonia Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Khaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Lewis, Bernard. 1988. Bahasa Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Sapir, Edward. 1921. Language. Ottawa: Harc curt, Brace and World
Inc.
Valdman,
Albert. 1966. Trends in Language Teaching. USA: Indiana University Press.
Wahid, Abdurrahman. 2001. Pergulatan Negara, Agama dan
Kebudayaan. Jakarta: Desantara
Komentar
Posting Komentar